Kisah Yuki-Onna (Wanita Salju) Merupakan salah satu kisah hantu klasik di Jepang, yang sudah sering diangkat dalam bentuk Opera, bahkan pernah dibuat dalam bentuk film klasik. Kisah hantu tidak klasik ditandai dengan adegan berdarah-darah, namun lebih merupakan cerita yang yang diisi tokoh manusia dan hantu yang melibatkan percintaan, kesedihan yang dalam dan tragedi.

Cerita dimulai dari dua orang penebang kayu bernama Mosaku dan Minokichi yang hidup di daerah provinsi Musashi (terletak di antara Tokyo dan Saitama), Mosaku adalah seorang pria yang berada di usia senja, sementara muridnya , Minokichi adalah seorang pemuda tegap berumur 18 tahun. Setiap hari mereka berangkat pagi-pagi sekali ke sebuah hutan yang jaraknya 5 mil dari desa mereka. Di antara desa mereka dan hutan yang dituju ada sebuah sungai besar yang beraliran deras. Begitu derasnya arus sungai tersebut sehingga tidak ada jembatan yang kuat menahan arus (jembatan yang ada selalu rusak akibat terjangan arus deras). Siapapun yang ingin menyebrangi sungai harus melewatinya dengan bantuan kapal penyebrang kecil.
»»  READMORE...


Kappa (河童, Kappa "anak sungai"), dipanggil juga Gatarō (川太郎, Gatarō "anak sungai") atau Kawako (川子, Kawako "anak sungai"), adalah makhluk legenda; suatu jenis peri air yang ditemukan dalam cerita rakyat Jepang. Meski demikian mereka juga dianggap sebagai bagian dari cryptozoology, yang disebabkan oleh beberapa penampakan. Dalam aliran Shinto mereka dianggap sebagai satu dari banyak suijin (literally "dewa air").
Kebanyakan gambaran memperlihatkan kappa sebagai humanoid seukuran anak, meskipun tubuh mereka lebih menyerupai monyet atau kodok daripada manusia. Beberapa keterangan menyatakan wajah mereka seperti kera, sementara yang lain memperlihatkan mereka dengan paras berparuh yang lebih mirip kura-kura atau bebek. Gambar-gambar biasanya menampilkan kappa dengan cangkan yang tebal dan kulit bersisik dengan warna antara hijau ke kuning atau biru.
Kappa menempati kolam-kolam dan sungai–sungai Jepang dan memiliki beragam tampilan untuk menolong mereka di lingkungan ini, seperti tangan dan kaki yang berselaput. Mereka kadang-kadang juga disebut memiliki bau seperti ikan, dan mereka dapat berenang seperti mereka. Ungkapan kappa-no-kawa-nagare ("seekor kappa tenggelam di dalam sungai") menyampaikan maksud bahwa bahkan ahli pun membuat kesalahan.
»»  READMORE...
Shinsengumi (Kanji: 新選組 atau 新撰組) adalah sebuah kesatuan polisi khusus pada masa keshogunan terakhir.

Latar Belakang Sejarah
Setelah Jepang membuka diri pada dunia Barat mengikuti kunjungan perwira AS Komodor Matthew Perry pada 1853, situasi politik secara bertahap menjadi makin keras. Negara terbagi menjadi beberapa garis pendapat politik; satu dari beberapa kelompok pemikiran ini (yang telah ada sejak kedatangan Perry) sonnō jōi: "Hormati Kaisar, Usir Orang Asing." Pengikut radikal dari ideologi ini mulai melakukan kegiatan pembunuhan dan kekerasan di Kyoto, ibukota kerajaan. Pada 1963, dalam usaha menjawab keadaan ini, Keshogunan Tokugawa membentuk Roshigumi (浪士組), satu kelompok yang terdiri dari 234 samurai tak bertuan (rōnin), dibawah komando hatamoto Matsudaira Tadatoshi dan pimpinan Kiyokawa Hachirō (seorang ronin dinamis dari Shonai). Misi formal kelompok adalah bertindak sebagai pelindung Tokugawa Iemochi, shogun ke-14, yang mempersiapkan diri untuk mengadakan perjalanan ke Kyoto.

»»  READMORE...

Amaterasu disebutkan dalam Kojiki sebagai dewi matahari yang dilahirkan dari Izanagi, yang juga ditemani oleh saudaranya, Susanoo, penguasa badai. Dalam Kojiki, Amaterasu dijabarkan sebagai dewi yang darinya seluruh cahaya berasal, dan jura sering diartikan sebagai dewi matahari karena kehangatannya dan kepeduliannya kepada meraka yang memujanya; sebuah interpretasi dari “cahaya” atau “panas” sebagai semangat, atau kesucian. Ini hampir menyerupai sebuah interpretasi, seiring dengan melihat tindakan saudaranya, Susano'o, dia melarikan diri ke sebuah gua, Ama-no-Iwato dengan malu, memadamkan cahaya yang dipancarkannya dan menjerumuskan dunia dalam kegelapan.

»»  READMORE...


Karate masuk di Indonesia bukan dibawa oleh tentara Jepang melainkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembakli ke tanah air, setelah menyelesaikan pendidikannya di Jepang. Tahun 1963 beberapa Mahasiswa Indonesia antara lain: Baud AD Adikusumo, Karianto Djojonegoro, Mochtar Ruskan dan Ottoman Noh mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka inilah yang mula-mula memperkenalkan karate (aliran Shoto-kan) di Indonesia, dan selanjutnya mereka membentuk wadah yang mereka namakan Persatuan Olahraga Karate Indonesia (PORKI) yang diresmikan tanggal 10 Maret 1964 di Jakarta.
Beberapa tahun kemudian berdatangan ex Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti Setyo Haryono (pendiri Gojukai), Anton Lesiangi, Sabeth Muchsin dan Chairul Taman yang turut mengembangkan karate di tanah air. Disamping ex Mahasiswa-mahasiswa tersebut di atas orang-orang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka usaha telah pula ikut memberikan warna bagi perkembangan karate di Indonesia. Mereka-mereka ini antara lain: Matsusaki (Kushinryu-1966), Ishi (Gojuryu-1969), Hayashi (Shitoryu-1971) dan Oyama (Kyokushinkai-1967).
»»  READMORE...